Desa

Membangunkan desa tidur

Komitmen pemerintah untuk membangun desa itu tampak lumayan serius. Pada 2020 anggaran dana desa mencapai Rp72 triliun. Lalu, bagaimana desa membangun sejauh ini?

Anindhita Maharrani
Membangunkan desa tidur
Indeks Desa Membangun 2019-2020 Kanal Desa / Kanal Desa

Sepanjang 2015-2019, Kementerian Keuangan telah mengalirkan dana ke desa sejumlah Rp257,7 triliun. Dana itu diberikan untuk membuat masyarakat desa lebih sejahtera, kualitas hidup meningkat, dan kemiskinan pun dapat ditanggulangi.

Komitmen pemerintah untuk membangun desa itu tampak lumayan serius. Pada 2020 anggaran dana desa mencapai Rp72 triliun. Lalu, bagaimana desa membangun sejauh ini?

Indikator untuk menilai kemajuan desa menjadi hal penting, terutama untuk melihat potensi dan identifikasi masalah di desa. Dengan begitu, akan terlihat mana yang harus dikembangkan dan diperbaiki agar desa dapat maju dan mandiri.

Setidaknya ada tiga indeks yang dipakai sebagai indikator. Pertama, Indeks Pembangunan Desa (IPD) yang dihitung BPS (Badan Pusat Statistik) atas inisiasi Bappenas pada 2015. Kedua, Indeks Kesulitan Geografis (IKG) oleh BPS. Ketiga, Indeks Desa Membangun (IDM). Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) menghitungnya sejak awal dana desa dialirkan.

IDM melihat kemajuan desa dari tiga dimensi ketahanan: sosial, ekonomi, dan lingkungan. Menurut penilaian indeks tiga dimensi, desa kemudian diklasifikasikan ke dalam lima kategori: sangat tertinggal, tertinggal, berkembang, maju, dan mandiri.

Menurut data Kementerian Desa PDTT per 8 Juli 2020, secara nasional status desa berkembang masih dominan dengan total 67.575 desa (58 persen). Setahun sebelumnya, angka itu hanya 55 persen.

Desa berstatus maju naik sekitar lima poin dari tahun sebelumnya (12,6 persen). Jika pada 2019 hanya 1,2 persen desa berstatus mandiri, kini menjadi 2,6 persen. Data menggembirakan lain juga terlihat pada desa dengan status sangat tertinggal. Jika pada 2019 mencapai 5,1 persen maka kini tinggal sekitar 3 persen.

Di sisi lain, masih tersisa 19 persen desa tertinggal. Laik diapresiasi, persentasenya berkurang 6 poin dibandingkan tahun 2019. Sama halnya dengan desa sangat tertinggal yang terkikis sekitar 2 poin pada 2020 menjadi 2,9 persen.

Lewat Perpres no 63 tahun 2020, pemerintah menetapkan 62 daerah tertinggal. Hampir setengahnya berada di wilayah Papua. Setengah lain tersebar di wilayah Sumatra, NTB, NTT, Sulawesi, dan Maluku.

Sebagian besar (75,9 persen) desa di daerah tertinggal, berstatus tertinggal dan sangat tertinggal, terdapat 21,3 persen desa berkembang. Baru 2,5 persen desa berstatus maju. Ada 4 desa mandiri ibarat terang di antara gelapnya daerah tertinggal.

IDM berdasarkan dimensi, 2019-2020
IDM berdasarkan dimensi, 2019-2020 Kanal Desa / Kanal Desa

Hasil olah data atas tiga dimensi Indeks Desa Membangun 2019 dan 2020 mengungkap beberapa fakta menarik.

Indeks Ketahanan Sosial (IKS) memperlihatkan hanya sekitar 6,5 persen desa yang masih ketinggalan dalam hal pendidikan, kesehatan, permukiman. Secara umum, infrastruktur sosial di desa sudah membaik.

Namun, kondisi kondusif ini tidak terlihat ketika membedah Indeks Ketahanan Lingkungan (IKL). Hingga Juli 2020, sebagian besar desa (63,8 persen) masih dalam status berkembang.

Potret semakin menyedihkan terlihat ketika menilik Indeks Ketahanan Ekonomi (IKE). Meski berkurang, sebagian besar desa (sekitar 61 persen) statusnya masih tertinggal dan sangat tertinggal.

Termasuk dalam indikator IKE adalah keragaman produksi masyarakat desa, ketersediaan pusat pelayanan perdagangan, dan akses distribusi atau logistik. Selain itu juga akses ke lembaga keuangan dan perkreditan, lembaga ekonomi, dan keterbukaan wilayah.

Menurut Firmansyah, peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro, harusnya dana desa sedemikian besar cukup untuk mengejar perbaikan sisi permintaan dan menggenjot pertumbuhan ekonomi. Tapi nyatanya belum maksimal.

”Bukan masalah sudah disalurkan kemudian belum efektif. Tapi penyalurannya belum sempurna. Banyak kendala, misalnya soal data dan kesiapan daerah menyambut dana desa. Pemda harusnya lebih sigap untuk memberikan data, menyalurkan dana, dan sebagainya,” ujar Firmansyah kepada Kanal Desa, Rabu (2/9/2020).

Memperkuat ketahanan ekonomi desa ibarat membangun pondasi, dengan dana desa sebagai tiangnya. Namun, data memperlihatkan masih ada sejumlah desa “tidur”. Pemberian dana desa sudah benar namun untuk “membangunkannya” perlu pendampingan pengelolaannya.

Masalahnya, ada saja pemerintah desa yang takut salah menggunakan dana desa hingga akhirnya dibiarkan mengendap. Sementara sebagian lain kurang tepat guna dalam memanfaatkannya sehingga dana terbuang begitu saja tanpa hasil.

Masih terjadi ketimpangan antara perangkat desa di Jawa dan luar Jawa. “Makanya butuh pendampingan program dan keuangan supaya desa merasa nyaman mengeluarkan uang, tidak hanya ditabung tapi aman,” Firmansyah menambahkan.

Pendampingan ini, menurut Firmansyah paling tepat dilakukan pihak Pemerintah Kabupaten. Bukan dari Kementerian Desa atau Kementerian Sosial.

Baca Lainnya