Analisis Kebijakan

Membangun desa, mengaktifkan potensi desa

Pembangunan desa mesti dijalin dengan dasar konsep "desa membangun", serta "membangun desa" secara bersamaan. Agar wawasan kawasan perdesaan terbentuk, serta kompetensi desa tercapai.

Arief Fitrijanto
Membangun desa, mengaktifkan potensi desa
Pemberdayaan desa melalui pemberdayaan ekonomi masyarakatnya dapat menjadi penyangga ekonomi nasional. Desa mesti menjadi subjek dalam pembangunan. iStock (diolah) / iStock (diolah)

Banyak kalangan memiliki harapan lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) membawa harapan baru bagi desa serta masyarakat yang tinggal di dalamnya. Harapan tersebut kiranya tidak berlebihan. Paling tidak didasarkan pada dua alasan: status desa serta proporsi jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di desa dan perubahan paradigma pada payung hukum tentang desa.

Alasan pertama, pada tahun implementasi Undang Undang Desa (2015), proporsi penduduk Indonesia yang tinggal di desa sebesar 46.7% dan berkurang setiap tahunnya. Hingga diproyeksikan pada 2030, proporsinya tersisa sebesar 36.6% saja (BPS,2020). Nilai tersebut paling tidak mengindikasikan adanya fenomena bahwa desa masih dipandang hanya sebagai wilayah penyokong kota (hinterland) dan bukan merupakan entitas yang perlu dibangun sejajar dengannya. Di sisi lain, terdapat realitas bahwa komposisi desa dengan status desa tertinggal dan sangat tertinggal masih menjadi bagian yang cukup besar dari keseluruhan desa di Indonesia. Proporsi tersebut pada 2015 masih sebesar 63.82% (IDM 2015) dan berada terutama pada wilayah yang secara lokasi berada jauh dari pusat pemerintahan.

Alasan kedua, aspek regulasi tentang desa yang termuat pada UU Desa telah terjadi perubahan paradigma pada cara pandang desa: dari objek menjadi subjek pembangunan. Model pembangunan nasional yang selama ini berbasis kota menjadi berbasis pengembangan potensi desa. Desa secara langsung memiliki kewenangan penuh pengelola pembangunan pada satuan pemerintahan atau komunitas paling bawah, yaitu masyarakat desa.

Berdasarkan kedua alasan tersebut, harapan UU Desa akan mempercepat pembangunan di Indonesia menjadi realistis. Paling tidak, harapan bahwa desa yang selama ini terpinggirkan akan terangkat sejajar dengan wilayah perkotaan.

Berlakunya UU Desa tentu tidak akan serta merta mewujudkan harapan tersebut. Tulisan ini mencoba menelaah secara sederhana faktor-faktor kunci suksesnya pembangunan desa dan perdesaan dalam konteks keberagaman karakteristik wilayah di Indonesia.

Membangun desa dan desa membangun

Dalam konteks pembangunan desa dikenal dua konsep yang secara metodologis berbeda dalam pendekatan perencanaan maupun implementasi kebijakan. Memahami dengan baik kedua konsep ini akan memberikan titik awal yang tepat dalam merencanakan pembangunan desa dan perdesaan.

Konsep pertama adalah “membangun desa”. Konsep ini dapat dianggap sebagai pengejawantahan berbagai teori pembangunan perdesaan (rural development) yang lebih banyak dikenal dalam literatur akademik. Dalam konsep ini, desa dan pembangunan yang dilaksanakan padanya dianggap menjadi bagian dari pembangunan perdesaan. Desa dikembangkan dalam rangka penguatan wilayah yang dapat menyangga atau menyokong kehidupan di suatu kota serta menyediakan hasil pertanian dan kebutuhan bahan baku lain untuknya (hinterland) .

Dalam sudut pandang perencanaan dan pengelolaan aktivitas pembangunan, konsep ini memang tidak bermasalah. Kelemahan nyata dalam konteks pembangunan desa di Indonesia pada konsep ini adalah memandang desa hanya sebagai kesatuan wilayah hukum tanpa memahami bahwa masing-masing desa memiliki sumber daya dan karakteristik wilayah dalam bidang sosial, budaya dan sumber daya alam yang beragam. Menyamakan model pengelolaan sumber daya pada kondisi demikian menyebabkan tidak optimalnya capaian tujuan dari program pembangunan desa yang dijalankan. Hal ini memberikan ekses menjadikan desa hanya sekadar sebagai lokasi aktivitas pembangunan saja. Pun tidak menghasilkan penguatan kelembagaan lokal serta keikutsertaan sumber daya lokal dalam pembangunan.

Model pembangunan seperti ini dalam jangka pendek mungkin dapat memenuhi target capaian pemenuhan kebutuhan masyarakat desa. Namun pada jangka panjang, desa dan masyarakat desa menjadi sangat tergantung dari kebaikan pengelolaan pembangunan yang direncanakan secara terpusat. Program-program yang dijalankan secara terpusat ini, bahkan kadang tidak sesuai dengan kebutuhan desa dan penguatan kelembagaannya. Pada gilirannya sulit berharap menguatnya partisipasi yang dapat mengurangi migrasi sumber daya manusia (brain drain); menguatnya kapasitas pemerintahan desa yang mereduksi mismanajemen pembangunan; serta terkelolanya sumberdaya lokal yang menghilangkan ketergantungan pada transfer dana pembangunan.

Konsep kedua adalah konsep “desa membangun”. Konsep tersebut menjadi paradigma pada Undang-Undang Desa yang mengandung spirit menjadikan desa sebagai entitas yang memiliki otonomi, kemandirian, lokalitas dan partisipasi serta menempatkan desa sebagai subjek pembangunan. Tujuan dari desa membangun adalah menjadikan desa sebagai basis penghidupan dan kehidupan masyarakat secara berkelanjutan dan menjadikan desa sebagai ujung depan yang dekat dengan masyarakat, serta menjadikan desa sebagai entitas yang mandiri.

Peran otoritas pemerintahan yang lebih tinggi berfungsi lebih kepada fasilitasi, supervisi dan pengembangan kapasitas desa. Sedangkan otoritas pada perencanaan dan implementasi benar-benar berada pada desa. Desa berperan sebagai aktor utama yang merencanakan, membiayai dan melaksanakan pembangunan. Pada gilirannya pemerintah desa menjadi ujung depan penyelenggaraan pelayanan publik bagi warga serta menjadi unit produksi yang memiliki produk ekonomi unggulan.

Dengan Undang-Undang Desa, desa menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Masyarakat desa yang berdaya secara ekonomi merupakan syarat utama kemandirian ekonomi.
Dengan Undang-Undang Desa, desa menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Masyarakat desa yang berdaya secara ekonomi merupakan syarat utama kemandirian ekonomi. iStock (diolah) / iStock(diolah)

Membangun berbasis potensi desa

Pada tataran implementasi, sebenarnya dua konsep tersebut mesti dilaksanakan secara bersamaan. Konsep desa membangun memang secara otoritatif memberikan kewenangan cukup besar pada desa untuk mengembangkan dirinya secara kreatif dan mandiri. Desa menjadi entitas unik yang memiliki potensi dan dapat mengembangkan potensi tersebut secara optimal. Konsep desa membangun seharusnya dapat ditempatkan secara integral dalam konsep membangun desa, dengan cara menempatkan desa sebagai bagian dari entitas sistem yang lebih besar yaitu kawasan perdesaan.

Potensi desa adalah sumber daya sosial, ekonomi dan ekologi yang terdapat di desa, dapat dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Dalam konteks ekonomi perdesaan, mengaktifkan potensi desa memerlukan pemahaman utuh mengenai besarnya potensi yang dimiliki serta karakteristik yang melekat pada potensi tersebut. Pemahaman tersebut diperlukan untuk dapat memanfaatkan potensi desa secara optimal sesuai dengan karakteristik spesifiknya. Pemahaman akan potensi diri akan membentuk kompetensi desa.

Salah satu karakteristik dasar desa adalah memiliki potensi besar dalam produksi komoditas pertanian. Maka usaha-usaha yang dilakukan dalam pembangunan desa dan perdesaan mestinya berorientasi juga pada sektor pertanian tersebut.

Sebagai gambaran, sebuah desa yang menghasilkan produk pertanian berupa komoditas sayur. Pemahaman akan potensi diri seharusnya mampu mentrasnformasikan kemampuan produksi “sayur” mereka menjadi kompetensi “persayuran”. Mencapai tingkatan kompetensi persayuran ini memaksa pemerintahan desa dan masyarakatnya untuk berpikir tidak hanya berkaitan tentang memproduksi sayur, namun meningkat menjadi berpikir tentang sayur dan produk-produk turunan serta pendukungnya yang dapat memberikan nilai tambah pada komoditas sayur. Capaian kompetensi ini juga akan mendorong desa untuk meningkatkan kapasitasnya dalam sinergi dengan pihak eksternal.

Perlu diingat bahwa mengelola potensi desa dengan memisahkan entitas desa dari pengembangan kawasan perdesaan dapat berpotensi mengakibatkan terjadinya bias kota. Bias kota dapat terjadi bila pengembangan desa dan perdesaan yang pada awalnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya malah berakibat sebaliknya. Yaitu tersedotnya potensi perdesaan ke perkotaan baik dari sisi sumberdaya manusia, alam, bahkan modal. Kebijakan pembangunan perdesaan yang terlalu berorientasi pada usaha mempercepat pertumbuhan ekonomi perdesaan melalui industrialisasi (supply side) akan cenderung membutuhkan sumber daya luar (tenaga kerja maupun material) untuk mengisi kebutuhannya. Pada gilirannya output dari industialisasi perdesaan tersebut akan banyak kembali mengalir ke luar perdesaan (backwash).

Pembangunan desa dan perdesaan seharusnya menitikberatkan pada penguatan permintaan dan penggunaan sumber daya lokal (demand side). Pendekatan pembangunan melalui pendekatan demand side memang membutuhkan proses yang lebih lama, namun output pembangunan perdesaan dapat lebih berkesinambungan. Untuk itu, desa seharusnya memahami bahwa sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor kunci dari pembangunan desa. SDM yang baik tentu saja bukan hanya bermanfaat bagi pengelolaan potensi desa, namun juga akan menumbuhkan demand serta daya beli masyarakat desa.

Membangun SDM, membangun kompetensi

Tidak dapat dimungkiri kelemahan utama desa dalam membangun wilayahnya, yang disadari sejak dulu adalah pada kapabilitas sumber daya manusia (SDM) pengelola yang masih berkualitas rendah. Kapabilitas SDM yang baik, bukan hanya terbatas diperlukan pada sektor produksi saja, namun juga diperlukan dalam menjaga kesinambungan produksi, membaca pasar serta kemampuan sinergi dengan pihak luar. Rendahnya kapabilitas SDM dalam membangun sinergi dengan pihak luar akan berimplikasi pada lemahnya kemampuan desa dalam mencukupi kekurangan kebutuhan sumber daya yang dibutuhkan dalam kegiatan pembangunan desa. Padahal untuk membangun desa tentu tidak semua kebutuhan sumber daya dapat dicukupi secara lokal oleh desa.

Ibarat sebuah mobil canggih yang memiliki semua perangkat yang mampu menjamin rasa nyaman dan aman ketika mobil berjalan, SDM yang berkualitas adalah pengemudi yang mampu menguasai mobil dan semua perangkat yang ditanam padanya. Ketidakmampuan pengemudi akan menjadikan kecanggihan mobil menjadi tidak terlalu berguna. Untuk itu, penguatan SDM desa seharusnya menjadi prioritas utama dari perencanaan pembangunan desa. Pemerintah perlu mengadakan penguatan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas SDM desa ini. Keseriusan pemerintah dalam membangun SDM desa dapat tercermin dari adanya peta jalan penguatan SDM desa yang tergambar pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD ) kabupaten/kota serta perencanaan turunannya.

Membangun SDM desa akan menghasilkan kompetensi desa dalam membangun wilayahnya. Kompetensi menjadi kunci dari keberhasilan semua kegiatan pembangunan yang diimplementasikan pada wilayah desa dan perdesaan. Pada saat kompetensi SDM desa ini telah terbentuk, maka “dana desa” untuk belanja pembangunan desa serta bantuan pembangunan infrastruktur desa hanya akan berfungsi sebagai jenis program stimulasi saja bagi desa. Sebab SDM desa yang memiliki kompetensi ini akan mampu mendayagunakan potensi desa serta mengelolanya sebagai komponen pendukung untuk mencapai kesejahteraan desa. Semoga.

*Dr. Arief Fitrijanto, Dosen Ekonomi Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Baca Lainnya