Analisis Kebijakan

BUMDes dan tantangan di masa Kenormalan Baru

BUMDes dapat hadir menjadi pemasok untuk beberapa kebutuhan masyarakat. Kemudian pasar difokuskan dalam skala lokal, bisa dalam lingkup satu desa ataupun lingkup beberapa desa.

Moh Tamzil
BUMDes dan tantangan di masa Kenormalan Baru
Kepala Bagian Hubungan Media dan Masyarakat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dody Ardiansyah (kiri) berbincang Kepala Desa Pujon Kidul Udi Hartoko (kedua kanan), Pengelola Unit Card BNI Malang Sri Damayanti (kedua kiri), dan Pemimpin BNI Cabang Brawijaya Malang Irwansyah Kasuma saat meninjau pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sektor wisata di Kafe Sawah, Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis (26/9/2019). OJK mendorong optimalisasi peran BUMDes untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa melalui program Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai) yang hingga Triwulan II 2019 jumlah nasabahnya mencapai 3.611 orang dengan jumlah pembiayaan mikro yang disalurkan mencapai Rp49,07 miliar. | Ilustrasi | Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO Aditya Pradana Putra / ANTARA FOTO

Sejumlah BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) tercatat sukses dan berkontribusi kepada masyarakat desa seperti Desa Ponggok di Klaten, Desa Panggungharjo di Bantul, Desa Kalukubula di Sigi, dan masih banyak lagi desa yang mampu berkembang dari hasil pengelolaan badan usaha itu.

Peraturan perundang-undangan memberikan posisi penting bagi BUMDes dalam membangun dan memajukan desa yang mandiri. BUMDes juga diharapkan dapat menjadi tonggak perekonomian masyarakat desa, serta mendorong perubahan serta penyelesaian berbagai macam permasalahan yang ada di desa. Perlu kita pahami BUMDes merupakan lembaga usaha, yang berarti harus dikelola berdasarkan prinsip usaha yang benar.

Sebagai entitas bisnis, kita tahu bahwa langkah awal seorang entrepreneur adalah membuat perencanaan bisnis. Untuk bisnis dengan skala tertentu malah harus dilakukan studi kelayakan, untuk melihat apakah bisnis tersebut layak atau tidak untuk dijalankan. Tapi bagi BUMDes, saya rasa tidak perlu sejauh itu.

Pada prinsipnya, perencanaan harus dibuat untuk memastikan bisnis yang akan dibangun dapat berjalan, dan mengurangi segala risiko kegagalan atau bahkan bangkrut. Karena itu sebagai badan usaha, BUMDes harus dikelola secara profesional seperti entitas bisnis pada umumnya, dengan perencanaan yang baik, serta dikelola oleh SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkompeten.

Soal kompetensi ini penting. Banyak pertanyaan perihal kompetensi SDM penggerak BUMDes. Umumnya ada anggapan bahwa SDM di level desa dianggap sebagai “SDM seadanya”. Artinya para pengurus badan usaha itu ditunjuk serta dipilih berdasarkan kesediaan individu masyarakat yang direkomendasikan oleh pihak desa. Hal ini tidak mutlak salah, namun ada hal yang perlu juga diperhatikan dalam memilih pengurus BUMDes. Antara lain, dan ini cukup mendasar, adalah SDM tersebut harus memiliki ketertarikan pada dunia usaha. Setidaknya mempunyai keinginan besar untuk belajar bagaimana mengelola suatu unit usaha.

Namun kita kerap menemukan fakta di lapangan, pemilihan pengurus lebih berdasarkan hubungan “penghormatan” karena ketokohan (seperti mantan Kades, tokoh masyarakat bahkan aparatur desa yang merangkap tugas). Hal ini yang menjadi alasan mendasar kenapa masih banyak BUMDes yang jalan di tempat. Sekali lagi, hal tersebut tidak mutlak salah. SDM yang ada dapat dipersiapkan menjadi penggerak BUMDes melalui peningkatan kapasitas baik soft skill ataupun hard skill, tergantung kebutuhan tiap BUMDes.

Selain perencanaan dan menentukan para pengelola, faktor kunci lain keberhasilan BUMDes adalah pada sinergi Pemerintah Desa, Masyarakat Desa dengan BUMDes terkait pengelolaan serta pengembangan potensi asli desa. Sebagai contoh sebuah desa yang memiliki potensi pertanian lalu BUMDes setempat membangun unit usaha perdagangan atau pengolahan hasil pertanian masyarakat, maka Pemerintah Desa perlu merancang suatu kebijakan yang mampu mengakomodir pengembangan potensi tersebut. Misalnya dengan program pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan hasil pertanian. Termasuk melakukan inisiasi dengan para pelaku rantai pasar di lingkup desa, dan juga menjalin kerjasama dengan sektor swasta di daerahnya seperti akses dana CSR (Corporate Social Responsibility), program hibah dan sebagainya. Semuanya ditujukan untuk peningkatan potensi pertanian desa dan pengembangan BUMDes-nya.

Kenali masalah serta peluang

Ancaman paling menakutkan bagi pelaku usaha adalah terjadinya “kebangkrutan”. Banyak cara atau pendekatan dilakukan para pelaku usaha untuk dapat mengenali dan mengurangi risiko negatif bagi keberlangsungan usahanya. Pendekatan paling umum adalah analisa SWOT untuk memetakan kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman bagi bisnis tersebut.

Dari analisa itu akan terpetakan apa saja yang menjadi keunggulan dari BUMDes yang dapat dijadikan modal utama pendirian usaha. Begitu juga dengan kelemahan internal apa yang harus menjadi prioritas untuk segera dibenahi dan selesaikan. Dari aspek eksternal, analisis SWOT juga memetakan peluang apa saja yang dapat mendukung berjalannya suatu bisnis, sekaligus memetakan faktor eksternal apa saja yang dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan bisnis.

Satu hal yang perlu dicatat dalam melakukan analisa SWOT ini adalah prinsip objektivitas. Analisa harus tajam memetakan empat aspek tersebut secara transparan dan jujur. Semakin tajam analisa akan semakin mudah merumuskan strategi bisnis BUMDes. Contohnya, jika SDM yang ada saat ini dinilai kurang menguasai administrasi usaha, maka harus dibuat strategi peningkatan kapasitas SDM. Program itu bisa dilakukan melalui pelatihan praktis, maupun bekerjasama dengan pemerintah ataupun swasta untuk meningkatkan kapasitas SDM BUMDes tersebut.

Dari pengalaman saya membangun bisnis ataupun mendampingi UKM dan BUMDES di sejumlah daerah di Indonesia, perencanaan yang matang ternyata dapat mengurangi resiko kerugian atau bahkan kebangkrutan usaha. Perencanaan yang baik merupakan sebagian dari keberhasilan.

Kejelasan adalah Kekuatan

Dokumen perencanaan bisnis merupakan peta operasional suatu usaha. Di dalamnya memuat sembilan aspek penting dalam suatu bisnis, yaitu:

1. Gambaran Umum Usaha

2. Gambaran Pasar

3. Rencana Pemasaran

4. Rencana Produksi dan Operasional

5. Analisa Kompetitor

6. Rencana SDM

7. Rencana Pengembangan Usaha

8. Rencana Keuangan (Proyeksi Rugi Laba)

9. Analisa Dampak dan Resiko Usaha

Aspek-aspek tersebut merupakan panduan bagi operasional suatu bisnis, sekaligus hal-hal yang harus dimonitor dan dievaluasi secara berkala. Revisi bisa dilakukan jika rencana yang telah dibangun tidak sesuai dengan realisasi selama bisnis berjalan.

Dalam menjalankan usaha, pengurus BUMDes wajib mengetahui dan memahami dokumen perencanaan bisnis itu. Semua kebijakan, penentuan target serta strategi yang akan dilakukan harus mengacu kepada dokumen perencanaan bisnis. Hal itu untuk menjamin proses operasional, capaian target, kendala dan permasalahan dari setiap unit dapat dimonitoring dan dievaluasi jika kelak dinilai perlu ada perubahan ataupun penyesuaian.

Faktanya masih banyak BUMDes di Indonesia meremehkan pentingnya dokumen perencanaan bisnis ini. Padahal dokumen ini menjadi salah satu syarat dalam proses pendirian suatu BUMDes ataupun syarat untuk penyertaan modal selanjutnya dari Desa kepada BUMDes.

Sekali lagi perencanaan bisnis yang jelas itu sangat penting. Kejelasan dalam perencanaan menjadi kekuatan dalam bertindak dan mengambil keputusan. Bagaimana suatu BUMDes dapat berjalan jika tidak punya peta ke mana BUMDes itu akan dibawa? Ini sebab mendasar mengapa banyak BUMDes yang setelah didirikan namun tidak berjalan lama, bahkan ada yang masih bingung menentukan bidang usaha yang akan dilakukan.

Tantangan di era kenormalan baru

Setidaknya berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM, ada 1.785 Koperasi dan 163.713 pelaku UMKM yang terdampak pandemi Covid-19. Dampak serupa tentu saja dialami oleh kepada BUMDes saat ini.

Di tengah pandemi yang mengguncang tatanan perekonomian bangsa saat ini, para pelaku BUMDes serta pihak terkait harus melakukan evaluasi dan rancang ulang model bisnis yang telah ada untuk menyesuaikan dengan berbagai perubahan di masa pandemi, termasuk perubahan perilaku pasar di era Kenormalan Baru.

Banyak hal perlu dievaluasi untuk menjaga eksistensi BUMDes di era Kenormalan Baru. Setidaknya ada satu hal penting yang menjadi fokus evaluasi atau bahkan dirancang ulang terkait bisnis yang tengah dilakukan oleh BUMDes, yaitu: menganalisa ulang kebutuhan pasar skala lokal. Kita tahu pandemi ini berdampak kepada rantai pasok kebutuhan pokok masyarakat yang berimbas kepada kelangkaan beberapa jenis kebutuhan pokok. BUMDes dapat hadir menjadi pemasok untuk beberapa kebutuhan tersebut. Pasar yang harus difokuskan adalah pasar skala lokal, bisa dalam lingkup satu desa ataupun lingkup beberapa desa yang memiliki kebutuhan atas suatu barang tertentu.

Metodenya bisa dengan menjalin kerjasama dengan BUMDes di sejumlah desa sekitar agar dapat saling memenuhi kebutuhan desa masing-masing. Contohnya Desa A memiliki potensi pertanian padi, sedangkan Desa B mempunyai potensi hasil pertanian sayuran. Maka kerjasama dapat diciptakan dalam mendistribusikan produk Desa A untuk memenuhi kebutuhan Desa B, begitupun sebaliknya. Dalam hal ini prinsip bagi hasil ataupun komisi bisa diterapkan dari setiap produk yang laku terjual di masing-masing desa.

Hal ini tidak terbatas kepada jenis produk saja, bisa saja Desa C tidak memiliki produk pertanian tetapi memiliki produk hasil olahan masyarakat desanya yang lalu dipasarkan oleh BUMDes dengan mekanisme sama, yaitu bekerjasama dengan sejumlah desa di sekitarnya.

Prinsip utamanya adalah pelajari apa yang menjadi kebutuhan masyarakat lokal, lalu penuhi apa yang menjadi kebutuhannya. Gotong royong dan kebersamaan antar desa diharapkan akan saling menguatkan eksistensi BUMDes masing-masing.

Bagi BUMDes yang memiliki jaringan internet yang baik, maka dapat mulai mengoptimalkan saluran penjualan secara online. Sedangkan BUMDes yang jaringan internetnya terbatas, dapat membangun jaringan simpul marketing. Hal itu bisa dilakukan dengan melibatkan kerabat atau rekan dekat yang berada di perkotaan. Dengan jejaring simpul itu produk-produk BUMDes dapat dipasarkan baik secara offline maupun online.

*Moh Tamzil, Pelaku Usaha, Tenaga Ahli Perencanaan dan Pengembangan Usaha UKM & BUMDES Yayasan Penabulu

Baca Lainnya

Ragam tantangan pendampingan BUMDes
BUMDes

Ragam tantangan pendampingan BUMDes

Banyak tantangan yang dihadapi BUMDes, mulai dari soal penganggaran, SDM, sampai pengelolaan bisnis. Perlu peran dan kerjasama beragam pihak untuk mengatasi tantangan berat ini.

M Yusuf Khamdani