Desa

Alpukat Muria, hasil pertanian Kudus yang kian menggeliat

Alpukat di kawasan lereng Muria, lambat laun menjadi produk andalan baru selain kopi di Kabupaten Kudus. Perawatan pohon cukup mudah dan hasilnya cukup menjanjikan. Masih ada pekerjaan rumah yang masih perlu dikerjakan, seperti penanaman yang lebih terkonsentrasi dan pencarian alternatif pemasaran.

Islakhul Muttaqin
Alpukat Muria, hasil pertanian Kudus yang kian menggeliat
Alpukat jenis kendhil milik Agung, salah satu petani alpukat dari Desa Ternadi, Kecamatan Dawe (24/3/2021). Kecamatan Dawe merupakan penghasil alpukat terbesar di Kabupaten Kudus. Islakhul Muttaqin / Lokadata

Bambang Totok Subianto, Kepala Desa Kajar, Kecamatan Dawe, menceritakan bahwa jumlah warganya yang menanam alpukat dari tahun ke tahun semakin banyak. Selain karena nilai ekonominya bagus, buah alpukat juga cocok dijadikan sebagai tanaman pendamping bagi kopi.

“Karena kopi panennya hanya satu tahun sekali, masyarakat memilih alpukat sebagai tanaman penaung yang bisa dipanen setahun dua kali,” ujarnya.

Desa Kajar, adalah salah satu desa di lereng Pegunungan Muria dengan luas wilayah 504 hektar dan memiliki jumlah penduduk 4.530 jiwa. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani. Salah satu komoditas pertanian andalan di desa ini adalah buah alpukat.

Pada 2020, seorang petani bernama Karjan (52 tahun), menjulangkan nama desa ini. Di tahun ini dia berhasil memecahkan rekor penjualan pohon alpukat dengan sistem tebas pohon. Satu pohon alpukat miliknya dihargai oleh pengepul sebesar Rp 22 juta dengan sistem pembelian selama satu tahun.

Pohon alpukat yang tumbuh di halaman depan rumah Karjan ini memang istimewa. Diameternya mencapai 100 cm dan pohonnya menjulang tinggi sekitar 15 meter. Dalam lima tahun terakhir, harga jual pohon ini kian meroket. Alpukat milik Karjan ini jadi incaran utama para pengepul. Pada tahun 2016 pohon ini dihargai 8 juta rupiah, lalu menjadi 10 juta di tahun 2017. Pada 2018 menjadi 13 juta, menembus 16 juta pada 2019, dan puncaknya terjual 22 juta pada 2020.

“Pohon ini memiliki keunggulan dalam jumlah panen. Pada 2020 hasil yang didapat mencapai 8 kuintal dengan kualitas alpukat kelas super,” ujar Karjan pada Sabtu (27/3/2021).

Rahasia keberhasilan Karjan adalah perawatan yang optimal. Dia menggenjot kesuburan tanah dengan pupuk kompos dari kotoran ternak miliknya sendiri. Dia juga menyediakan suplai air yang cukup dengan memasang kran persis di sebelah pohon. Hampir setiap hari dia menyiramnya, ditambah pemupukan berkala sebulan sekali.

Karjan, Petani alpukat Desa Kajar, Kecamatan Dawe (19/3), menunjukkan pohon alpukat miliknya yang pada 2020 lalu menghasilkan sekitar 8 kuintal alpukat, dengan dihargai 22 juta.
Karjan, Petani alpukat Desa Kajar, Kecamatan Dawe (19/3), menunjukkan pohon alpukat miliknya yang pada 2020 lalu menghasilkan sekitar 8 kuintal alpukat, dengan dihargai 22 juta. Islakhul Muttaqin / Lokadata

Rifa’i (51 tahun), adalah pengepul yang membeli pohon alpukat milik Karjan itu. Dia berani mematok harga tinggi karena sudah ada pedagang dari Jakarta yang siap membeli hasil panennya.

“Saya punya relasi di Jakarta. Memang alpukat yang diminta adalah alpukat dengan kualitas super. Kualitas super nilainya di atas kualitas A. Beratnya minimal 500 gram, buah tidak mengalami cacat pada bagian tubuh dan kematangannya merata,” terangnya pada Sabtu (27/3/2021).

Dalam sebulan Rifa’i mengaku mampu menjual rata-rata 1 kuintal alpukat super siap konsumsi. Untuk konsumen Jakarta dan kota-kota besar lainnya, dia menjual alpukat super Rp40.000-50.000 per kilogramnya. Sementara untuk pasar lokal dipatok Rp30.000-35.000 ribu per kilogramnya.

Meski nilai ekonominya kian menjulang, pihak pemerintah Desa Kajar mengaku belum memiliki data berapa kapasitas produksi tahunan buah alpukat di desa ini. Selaku kepala desa, Bambang merasa kesulitan membuat pendataan terperinci.

Selain karena sebagian besar tanaman alpukat ditanam di lahan miliki pribadi warga, kebiasaan petani yang menjual ke pengepul dengan sistem tebas pohon merupakan faktor yang menyebabkan sulitnya pendataan. “Petani menjual alpukat kepada tengkulak tidak hanya satu atau dua tahun, tapi bisa sampai lima tahun,” ujar Bambang pada Sabtu (27/3/2021).

Hendy Hendro, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Muria Kudus (UMK) menyebutkan bahwa pola penanaman alpukat di desa-desa lereng Muria masih belum terkonsentrasi sebagai tanaman budidaya utama. Dalam jangka panjang, pola pertanian semacam ini dapat menimbulkan risiko karena tingkat kesuburan tanah akan semakin menurun.

“Kandungan nutrisi dalam tanah banyak yang diserap oleh tanaman utama sehingga tanaman sekundernya kurang maksimal dalam pertumbuhan maupun buah yang dihasilkan,” ujar Hendy, yang sekaligus Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Muria ini pada Senin (29/3/2021).

Hendy menambahkan, jika ingin mendapatkan hasil panen yang maksimal, pola penanamannya harus terkonsentrasi di satu lahan. “Pola tanamnya tidak harus monokultur, yang penting alpukat sebagai tanaman utamanya, dan tanaman pendampingnya adalah dari jenis yang tidak banyak mengambil nutrisi tanah,” tambahnya.

Tangkapan layar dalam Dashboard Lokadata tentang komoditas pertanian, industri dan Indeks Desa Membangun (IDM) Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus.
Tangkapan layar dalam Dashboard Lokadata tentang komoditas pertanian, industri dan Indeks Desa Membangun (IDM) Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus. Dashboard Lokadata / Lokadata

Dilema peran pengepul

BPS Kudus mencatat total produksi alpukat pada tahun 2020 mencapai 2.302 kuintal, meningkat cukup besar dibanding tahun sebelumnya yang hanya 1.642 kuintal. Kecamatan Dawe adalah penyumbang terbesar dengan total produksi sebanyak 1.574 kuintal, disusul Kecamatan Gebog 632 kuintal, Kecamatan Bae 84 kuintal, dan Kecamatan Jekulo 12 kuintal.

Meski ada peningkatan produksi pada 2020, Arin Nikmah mengatakan bahwa capaian tersebut sebenarnya masih dapat ditingkatkan. Caranya adalah dengan menjadikan alpukat sebagai tanaman utama yang terkonsentrasi di lahan tertentu dan memutus mata rantai ketergantungan kepada tengkulak.

“Pengepul yang datang kan tidak hanya dari Kudus, ada yang dari Jepara, Pati dan kota-kota lain di Jawa Tengah. Kondisi ini membuat kami kesulitan melakukan pendataan,” ujar Arin.

Salah seorang pengepul yang bersedia memberikan keterangan adalah Solikin, warga Desa Kajar yang memulai profesi ini sejak 2008. Di masa-masa awal memulai usahanya, Solikin mengaku belum banyak memiliki pesaing. Berbeda dengan sekarang yang jumlahnya tidak bisa dihitung dengan jari lagi.

“Alpukat Muria sudah dikenal secara luas, sehingga banyak orang yang berbondong-bondong terjun jadi pengepul,” ungkapnya pada Kamis (18/3/2021).

Untuk mendapatkan dagangan, Solikin menggunakan sistem tebas pohon. Dia berkeliling ke desa-desa di kawasan lereng Muria untuk bernegosiasi dengan para petani.

Karena sengitnya persaingan, pada tahun 2020 Solikin hanya mampu menebas pohon alpukat sebanyak tujuh pohon. Dalam hitungannya, satu pohon yang dibelinya itu dapat menghasilkan 3-4 kuintal buah alpukat sekali panen.

Pasar yang dia sasar adalah Jakarta. Selain permintaan yang tinggi, harga jual ke Jakarta juga relatif lebih tinggi dibanding kota-kota lain. Untuk alpukat kelas A, biasanya dia menjual dengan harga Rp 25.000-35.000. Namun, harga bisa berubah sewaktu-waktu, khususnya di momen-momen tertentu. Di bulan puasa, misalnya, harga 1 kilogram alpukat bisa mencapai Rp. 40.000-45.000. Dalam sebulan, rata-rata dia mampu mengirim alpukat kelas A ke Jakarta sebanyak 2 kuintal.

Untuk mendapatkan alpukat kelas A menurutnya bukan pekerjaan mudah. Dia harus menyortir semua hasil panen untuk memenuhi kriteria ini. Selain memiliki berat minimal 350 kilogram, alpukat kelas A juga dicirikan oleh kebersihan kulit buah yang merata dan tidak boleh ada cacat.

Peran pengepul seperti Solikin ini dalam mata rantai pasar alpukat sebenarnya tidak bisa dilihat secara hitam putih. Selain mampu membuka pasar alpukat secara lebih luas, mereka juga berperan sebagai penyerap hasil panen dari para petani alpukat.

Dalam jangka panjang, kehadiran mereka mungkin akan merugikan petani karena menciptakan kondisi ketergantungan. Namun, selagi belum tercipta sistem alternatif untuk memutus rantai ketergantungan ini, para pengepul akan tetap memainkan peran menentukan dalam rantai produksi dan pasar buah alpukat.

Rifa'i, pengepul alpukat dari Desa Kajar, Kecamatan Dawe (19/3) menunjukkan alpukat hasil sistem tebas dari masyarakat.
Rifa'i, pengepul alpukat dari Desa Kajar, Kecamatan Dawe (19/3) menunjukkan alpukat hasil sistem tebas dari masyarakat. Islakhul Muttaqin / Lokadata

Memulai pola tanam terkonsentrasi

Sore itu, Agung Tri Handoyo (42 tahun) sedang memeriksa pohon-pohon alpukat miliknya di halaman depan rumahnya. Satu per satu buah diperiksa dengan teliti. Paling lama satu bulan ke depan buah-buah ini sudah siap dipanen.

Agung adalah seorang petani sekaligus pembibit tanaman alpukat dari Desa Ternadi, Kecamatan Dawe. Apa yang dia tekuni belum banyak dilakukan oleh warga lainnya yang kebanyakan lebih memilih tanaman kopi.

Di atas lahan seluas dua hektar yang dia warisi dari keluarganya, Agung menanam berbagai jenis pohon alpukat. “Sebagian besar alpukat berjenis kendil, tapi ada juga jenis mentega dan aligator,” ujarnya ketika ditemui pada Jum’at (19/3/2021).

Sejauh ini, jumlah pohon yang dia tanam sebanyak 100 buah, sekitar 50 persennya sudah produktif. Dalam sekali panen, dia mendapatkan rata-rata 1,5 ton buah alpukat.

Untuk memasarkan alpukat miliknya, Agung juga punya siasat tersendiri. Dia memilih untuk tidak tergantung kepada pengepul atau tengkulak. Dia juga sudah menyadari pentingnya merek dagang untuk menarik minat konsumennya. Ini dapat dilihat pada stiker bertuliskan Gemboel yang dia tempelkan di setiap buah alpukat yang dia jual.

Dari jenisnya, alpukat Gemboel tergolong dalam kelas A dan B. Untuk kelas A harga yang dipatok antara Rp 35.000-40.000, sementara untuk kelas B antara Rp 25.000-30.000. Konsumen terbesarnya berasal dari Jakarta dan Bandung dengan serapan minimal 50 kg untuk masing-masing kota setiap bulannya. Untuk permintaan lokal dan kota-kota di Jawa tengah, rata-rata Agung mampu menjual 100 kg setiap bulannya.

Saat ini Agung juga sedang menyusun program agroedukasi alpukat di kebun miliknya dengan menggandeng Karang Taruna setempat. “Harapannya bisa membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat Ternadi. Selain itu, tujuannya juga untuk memperkenalkan alpukat Muria ke masyarakat yang lebih luas,” tuturnya.

Dinas Pertanian Kudus sangat mendukung apa yang dilakukan oleh Agung. Pasalnya, sejauh ini belum ada pertanian alpukat yang terpusat di Kabupaten Kudus. Apa yang dilakukan Agung, menurut Arin, dapat menjadi role model bagi budidaya alpukat di desa-desa lain di Kudus. Dinas Pertanian Kudus mengagendakan budidaya alpukat dalam skala besar pada tahun 2021. Program ini berupa bantuan bibit untuk gabungan kelompok petani di beberapa desa dengan target penambahan lahan seluas 20 hektar.

“Pengembangan itu sesuai dengan program dan amanat dari Pak Bupati. Rencananya Dinas Pertanian akan membuat percontohan terlebih dahulu di Desa Kuwukan, Kecamatan Dawe dengan menyuplai bibit untuk kapasitas lahan seluas 20 hektar. Program itu akan diimplementasikan bulan Oktober nanti,” terang Arin pada Senin (29/3/2021).

Lokasi pembibitan alpukat milik Agung di Desa Ternadi, Kecamatan Dawe (24/3/2021).
Lokasi pembibitan alpukat milik Agung di Desa Ternadi, Kecamatan Dawe (24/3/2021). Islakhul Muttaqin / Lokadata

Geliat pasar online

Ketika berselancar mencari alpukat muria di media sosial Facebook, kita akan menemukan banyak akun yang gencar menawarkan produk alpukat Muria. Salah satunya adalah Nikmah (30 tahun), warga Desa Cranggang, Kecamatan Dawe.

Nikmah sendiri tidak punya pohon alpukat, dia membeli dari petani Desa Cranggang, Kuwukan dan desa-desa di sekitarnya. Nikmah memulai bisinisnya pada tahun 2020, media penjualannya menggunakan akun pribadinya di facebook dan sejumlah platform toko online.

“Penjualan yang paling rame lewat Facebook, untuk media yang lain tidak signifikan,” ujarnya melalui pesan Whatsapp pada Sabtu (20/3/2021).

Untuk grafik penjualan, Nikmah mengatakan, ada bulan-bulan tertentu permintaan alpukat Muria meningkat tajam seperti pada bulan sebelum puasa hingga bulan setelah lebaran. Dalam waktu ini, Nikmah bisa menjual alpukat sebanyak 2 kuintal dalam sebulan dengan harga kisaran 30-40 rb perkilo. Sedangkan di luar bulan itu, angka penjualan Nikmah jatuh di kisaran 50-100 kilogram perbulan.

Menurut Nikmah, dalam menjual alpukat Muria terbilang tidak menemui kesulitan. Pasalnya alpukat Muria sudah banyak dikenal dan sudah mempunyai pasar yang luas.

“Alpukat Muria memiliki karakateristik rasa yang gurih dan pulen. Alpukat Muria juga tergolong murah dibandingkan dengan alpukat dari kota tetangga sehingga mudah mendapatkan pasar,” ujarnya.

Alpukat milik Agung Tri Handoyo, Desa Ternadi, Dawe. Alpukat jenis Aligator dengan kualitas A ini akan dijual ke Bandung (19/3/2021)
Alpukat milik Agung Tri Handoyo, Desa Ternadi, Dawe. Alpukat jenis Aligator dengan kualitas A ini akan dijual ke Bandung (19/3/2021) Islakhul Muttaqin / Lokadata

Baca Lainnya

Kopi Muria, potensi besar yang belum tergarap maksimal
Desa

Kopi Muria, potensi besar yang belum tergarap maksimal

Desa-desa di kawasan Gunung Muria, Kabupaten Kudus, menghasilkan kopi yang cukup besar. Namun, kendala berupa sistem ijon, kelembagaan, sampai pengolahan kopi masih menghambat petani untuk merasakan manfaat ekonomi yang lebih besar.

Islakhul Muttaqin

Geliat dan peluang lain setelah sukses industri di Kudus
Desa

Geliat dan peluang lain setelah sukses industri di Kudus

Hampir 80 persen ekonomi Kabupaten Kudus ditopang industri pengolahan. Sektor lain bisa memanfaatkan hal itu dengan jeli melihat peluang dan pasar serta kerjasama antar industri besar, sedang, hingga skala mikro kecil menengah.

Afthonul Afif